Posted in Jurnal

Tentang Jogja

Terpikirkan hal ini sejak lama. Sepertinya tahun lalu, meski saya sendiri tidak begitu ingat kapan bermula.

Saya acap kali berkata, saya cinta Jogja. Kota ini sudah membersamai saya sejak 2011. Meski saya lebih lama tinggal di Pangkalpinang, tetapi kota Jogja terasa lebih lekat dan dekat dengan saya. Keakraban saya dengan kota ini menjelma menjadi sebuah keinginan, harapan, mimpi, saya ingin menetap di Jogja.

Kenapa gerangan saya bisa begitu cintanya pada kota ini sehingga enggan meninggalkannya?

Saya pikir, alasan paling mendasar karena tinggal di Jawa memang mudah. Tidak seperti di Pangkalpinang, di Jogja ini, saya bisa dengan mudah menemukan apa-apa. Mulai dari barang penting hingga printilan tidak jelas. Plusnya lagi, harganya jauh lebih bersahabat dengan dompet, terlebih di lokasi mahasiswa.

Namun, bukankah kota-kota lain di Jawa pun menawarkan kemudahan yang sama? Lantas kenapa Jogja?

Katanya, usia jelang dua puluh adalah usia pencarian diri. Usia jelang dewasa pun masih. Sepertinya ini alasan lainnya. Saya menghabiskan masa-masa ini di Jogja.

Namun,  orang-orang yang mengisi masa-masa itu … saat ini pun entah ada di mana. Mereka sudah bertebaran di penjuru bumi; menggapai mimpi, membuat perbedaan, maupun menghasilkan lebih banyak senyum. Orang-orang yang menemani saya menjadi saya-yang-sekarang; senior di BEM, teman seperjuangan, sobat nongkrong, dll. Mereka kebanyakan sudah tidak lagi di Jogja setelah tahun demi tahun berlalu.

Satu-dua masih bisa ditemui, tetapi hanya dalam kesempatan terbatas. Yang jelas, sudah tidak ada lagi kebersamaan yang selalu ada di tahun-tahun awal saya di Jogja.

Namun, mengapa saya masih ingin berada di kota ini?

Apa benar karena kemudahan mendapatkan segala sesuatu? Atau karena harga apa-apa yang begitu murah (meski di sebagain tempat sudah tidak lagi murah)? Atau karena masih ada teman-teman saya?

Apakah nanti, ketika kota ini berisi orang-orang yang asing, saya pun masih akan jatuh cinta pada Jogja?

Author:

Penikmat es krim dan pecandu kebahagiaan. Senang menyusun buku berdasar warna, mengumpulkan kertas-kertas bekas, dan menatap langit-langit kamar. Sejak kecil bercita-cita menjadi penulis fantasi, yang sayangnya belum kesampaian.

Leave a comment