Posted in Tantangan

Hari 18: Nomor 2187

Saat itu adalah hari yang cerah dan dingin di bulan April, dan jarum jam menunjuk angka tiga belas. Aku menengok jam butut yang melingkar di pergelangan tangan, memastikan sekali lagi jam benar-benar menunjuk angka tiga belas.

Selepas beberapa menit, aku menghampiri kursi taman yang sedari tadi kulihat. Kursi kayu itu kokoh dan berpelitur rapi. Posisinya sangat strategis untuk melihat seisi taman. Aku mendudukan diri, hati-hati menyenderkan bahu ke punggung kursi yang tampak licin dan baru.

“Papa!” Seorang gadis berambut kuncir dua berlari dari jalan masuk taman. Senyumnya penuh. Dari gurat wajahnya terlihat usianya masih belia, mungkin sembilan atau sepuluh tahun.

Aku refleks berdiri dan menyambutnya dengan pelukan. Dia menghamburkan diri sambil tertawa-tawa.

Kalau kamu bertanya padaku kapan masa-masa paling berarti dalam hidupku, aku akan menjawabnya saat itu.

Setelah itu, aku mengajaknya duduk di bangku taman. Dengan penuh semangat, dia mulai bercerita padaku.

“Pa, tahu nggak tadi di sekolah Nana gimana?”

“Gimana?” tanyaku penuh penasaran.

“Ada acara lomba sekolah, Pa. Nana ikutan dan menang.” Suaranya terdengar penuh semangat. Suaranya pun membuatku bersemangat.

Pembicaraan kami berputar-putar dari satu ke satu hal lain. Hal-hal remeh temeh yang kecil, kalau kamu ikut mendengarkan.

“Apa hari ini Papa ikut pulang sama Nana?” tanyanya pelan. Dia menatapku dengan bola matanya yang besar dan bersinar.

Aku mengulum senyum tipis. Sembari mengusap kepalanya, aku mulai menjawab, “Belum, Nana. Papa belum bisa ikut pulang bersama Nana.”

Gadis itu terlihat sedih. “Apa karena Nana belum jadi anak baik?”

Hatiku mencelos. Aku berusaha semaksimal mungkin tidak menunjukkan duka yang mulai meluap dalam dadaku di depannya. “Nana anak yang baik kok. Papa belum bisa pulang karena masih ada pekerjaan.”

Gadis kecilku tampak murung. Aku bisa melihat kilauan di kedua matanya perlahan sayup.

“Tapi, minggu depan Papa bisa menemui Na lagi di sini. Tenang saja, ya.” Aku buru-buru mendekapnya erat.

“Janji?” Suaranya terdengar sedikit pecah. “Papa tidak akan ingkar seperti minggu lalu?”

“Janji.”

Dia menganggukkan kepala dan balas memelukku.

“Nana, sudah waktunya pulang.” Seorang wanita baya mendadak muncul dari sudut taman. Wanita itu mengenakan setelah rapi yang tanpa cela.

Aku membuka suara, “Tidak bisa–”

“Kita sudah membahas ini. Sudah tiga puluh menit. Sudah waktunya dia pulang. Lekas.” Suara wanita itu tegas. Dia tidak menginginkan interupsi.

Aku mendesah berat sebelum melepaskan pelukanku. Dengan senyum lebar, aku menepuk kepalanya pelan. “Sampai ketemu lagi, Gadis Kecil Papa.”

Dia mengangguk. Lalu, turun dari bangku taman dan menghampiri wanita itu. Mereka melangkah bersamaan hingga menghilang di balik rerimbunan pohon taman.

“Nomor 2187, Anda harus segera meninggalkan tempat ini. Waktu kunjungan telah berakhir. Ruang perantara akan segera berubah.” Seseorang membuyarkan lamunanku.

Aku tersentak dan buru-buru bangkit. Seorang lelaki muda bertampang tegas berdiri dekat bangku taman. “Ya, ya, aku tahu.”

Dengan gundah, aku melangkah meninggalkan taman. Pemuda itu ikut melangkah di belakangku. Kami beriringan menuju sebuah pintu berkubah di sudut. Pintu yang akan mengembalikanku pada kenyataan.

Aku melewati kubah itu dan tersenyum getir melihat setelan oranye menyala masih lekat di tubuh. Sebuah suara keras kemudian bergaung di atas kepalaku, bersamaan dengan jam yang menunjuk angka satu. Sudah habis waktu satu jam yang dijatahkan untukku.

“Tahanan Nomor 2187, segera melapor pada penjaga.”


Tulisan hari ini bertema melanjugkan kalimat awal novel 1984 George Orwell. Dan inilah yang saya tulis.

Pendek dan… eng kurang greget sih. Saya sadar. Namun, otak sedang tidak bisa diajak bekerja keras karena saya sedang sakit gigi, hiks. T.T

Mohon kritik dan sarannya! 😀

Author:

Penikmat es krim dan pecandu kebahagiaan. Senang menyusun buku berdasar warna, mengumpulkan kertas-kertas bekas, dan menatap langit-langit kamar. Sejak kecil bercita-cita menjadi penulis fantasi, yang sayangnya belum kesampaian.

9 thoughts on “Hari 18: Nomor 2187

Leave a comment